VII
Ancaman Barbar
Matahari masih mengintip dari ufuk barat saat dia bangun. Udara di sekitarnya masih terasa dingin. Jantungnya berdegup kencang dan keringatnya mengalir deras. Istrinya terkejut menyadari suaminya seperti itu.
“Ada apa?” tanya istrinya. “Mimpi buruk lagi?”
“Ya...” jawabnya lesu. “Mimpi yang sama.”
“Tenanglah” katanya sambil memeluk tubuhnya yang dingin. Berkeringat dingin. “Semua akan baik-baik saja.”
Dia mengangguk. Kasurnya yang besar terlihat sangat berantakan. Obor di samping kasurnya masih menyala. Pintu besar di depannya masih terkunci. Tapi, kenapa hawanya begitu dingin?
“Sekarang, bangunlah. Nikmati udara segar ini. Aku juga mau bangun,” ajak istrinya.
“Masih dingin,” tawarnya.
“Kau ini...” dia memukul perut suaminya pelan, lalu kemudian menciumnya. “ayolah, apa kata rakyatmu jika melihat rajanya bangun siang?”
“Rakyatnya tidak akan bangun.”
Istrinya tertawa. Dia bangkit dan memakai jubah tidurnya. Dia membuka pintu balkon dan menatap kebun di bawahnya. Penjaga di menara utara tersenyum dan mengangguk ketika melihat Sang Raja berdiri di balkon. Di kejauhan, tampak kota Feraux dan gerbang kotanya.
Dia melamun membayangkan takdirnya. Takdirnya sudah berubah dari enam bulan lalu, saat dia menjadi raja. Tapi walau begitu, semua berubah total. Semua memandang dia licik. Dia menggunakan taktik untuk merebut tahta. Tapi, tidak. Itu semua adalah mandat Lord Feraux 2000 tahun lalu.
“Sayang, cepat mandi. Ada tamu.” Istrinya membuyarkan lamunannya.
“Hah? Siapa?”
“Utusan dari Kuil Vudhavera. Kita tidak bisa menolak utusan dari kuil bukan?”
Dia mengangguk dan beranjak mandi. Setelah itu, dia datang ke ruang tamu untuk menyambut utusan kuil tersebut.
“Salam, Lord Iraz de Tortio, Lord Negeri Air Kemenangan,” utusan itu membungkuk dalam-dalam. Mereka tidak berlutut karena itu tidak diprbolehkan. Berlutut hanya untuk Kepala Kuil. Apalagi bersujud. Bersujud hanya untuk Dewa saja. “Nama saya Sakyaovigarhani. Biksu kuil Vudhavera Utara.”
“Terima kasih. Silahkan katakan, apa tujuan anda datang ke sini, Biksu Sakya?” jawab Lord Iraz.
“Saya diutus untuk memberikan beberapa jimat untuk anda. Semoga, dalam tahta anda akan terhindar dari segala bahaya.”
“Terima kasih. Katakan pada Kepala Kuil Vudhavera, saya sangat berterimakasih.”
“Tidak apa-apa, Lord,” ujar Biksu. “Saya yakin, jimat ini akan berguna karena diperlukan kekuatan untuk membawanya ke mari.”
“Maksud anda?”
“Gurun mulai tidak aman, Lord ananda yang Agung,” terang Biksu Sakya. “Ancaman Barbar mulai terlihat lagi. Mereka mulai beraksi lagi, bahkan sampai di dekat kuil. Di perjalanan, mereka berniat mencuri jimat ini. Syukurlah, Dewa menolong kami.”
“Bukankah pemimpinnya sudah mati 20 tahun lalu?”
“Ya. Tapi, ada pemimpin baru. Dia lebih berani dan nekad.”
Lord Iraz berfikir sejenak. Jika dia mengirim bantuan kepada Kuil Vudhavera Utara, mungkin rakyat akan menatapnya lebih baik. Setidaknya, rakyat akan mengenal kebaikannya karena memberikan penjaga ke Kuil Vudhavera.
“Bagaimana jika aku mengirim beberapa ksatria untuk menjaga Kuil Vudhavera?” tanya Lord menawarkan diri.
“Suatu kehormatan menerima bantuan anda, Lord Air Kemenangan,” jawab Biksu Sakya.
“Baiklah. Aku akan mengirim beberapa ksatria ke sana,” ucap Lord Iraz sambil bangkit untuk mengambil jimat yang diberikan Biksu Sakya di meja bundar besar di samping singgasananya.
“Tak semudah itu!”
Lord Iraz dan Biksu Sakya sama-sama menoleh ke arah suara itu. Seorang pria berambut pendek berdiri bersandar di kusen pintu besar ruang raja. Dia menghisap rokok besar mirip cigaret dan tersenyum mengejek.
“Anda pikir, ksatria itu mau saja anda suruh untuk menjadi penjaga? Merendahkan martabat sekali,” ujarnya sambil menghembuskan asap rokok.
“Sedang apa kau di sini?” tanya Lord padanya.
“Tidak ada apa-apa. Hanya mengamati ruangan yang seharusnya menjadi milikKU.” Dia beranjak dari pintu dan membantingnya. Wajah Lord tampak tidak senang.
“Kalau begitu, saya mohon pamit. Anda tidak perlu repot-repot mengirim bantuan,” kata Biksu Sakya pamit.
“Tidak. Aku tetap akan mengirim penjaga ke Kuil Vuhavera. Tenang saja,” ujar Lord Iraz.
“Terima kasih. Baiklah, saya mohon pamit. Salam untuk Anda, Lord Iraz de Tortio, Lord Air Kemenangan.”
Biksu Sakya keluar dari ruangan raja. Lord Iraz bangkit dan mengambil jimat yang diberikan padanya. Ada lima buah. Satu berbentuk bulan, satu berbentuk matahari, satu berbentuk awan, satu berbentuk bumi, dan yang terakhir sangat besar. Jimat itu berbentuk teratai.
“Sedang menikmati jimatmu?”
“Apa maumu, Edwin?” gertaknya pada pria berambut pendek tadi.
“Bukan apa-apa,” jawabnya. Dia masuk ke ruang raja dengan ringan. Matanya terus mengawasi mata Lord Iraz. “Kalau bukan karena mandat itu, aku sudah menjadi Lord Edwin yang Agung di sini. Lord Edwin de Orland.”
“Aku tahu itu. Tapi, mandat dari Lord Feraux tak bisa diubah. Bukankah dia juga kakekmu? Sangat memalukan kalau kau mengkhianati wasiatnya,” ujar Lord Iraz.
“Aku tidak bermaksud mengkhianatinya. Tapi, kau tahu sendiri, rakyat menatapmu sebelah mata bukan, Raja Palsu? Tanpa menkhianati mandat Lord Feraux pun, rakyat lebih memihak padaku. “
Lord terdiam. Itu memang benar. Rakyat lebih memihak keturunan Lord Feraux langsung untuk menjadi raja. Mereka menganggapnya Raja Palsu, Raja yang merebut tahta, Raja licik, dan yang lain.
“Jadi, kau menginginkan tahta ini? Ambillah. Aku juga tidak tertarik,” kata Lord Iraz.
“Tidak. Tidak semudah itu. Rakyat akan mengira aku bersekongkol denganmu. Bukan sekarang waktunya untuk ini,” jawab Edwin.
“Bukan sekarang? Maksudmu?”
“Kau akan tahu, Lord Iraz de Tortio. Lord Tortio yang pertama—sekaligus yang terakhir.”
Edwin melangkah pelan ke arah pintu. Rokoknya ia buang ke karpet biru di ruangan itu. Lord Iraz menatapnya dari belakang sambil maju selangkah.
“Kau ingat, Edwin, Putra Lord Septhyn de Orland! Jangan macam-macam denganku. Aku menghormatimu sebagai Putra Lord Orland terakhir. Tapi, jangan buat kau kehilangan kehormatanmu sendiri!” Lord Iraz memperingatkan.
Edwin tersenyum tanpa berbalik.
“Kita lihat nanti, Iraz.”
0 comment:
Posting Komentar