THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES
Tampilkan postingan dengan label Masterpiece. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masterpiece. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 April 2010

Love Poem

Hei kamu,
aku sedang belajar untuk mencintaimu. Jadi tolong diamlah dan dengarkan ini!

" hei, Apa kau tau?
Aku gak pernah memandang berapa hartamu, berapa uangmu, berapa rumahmu, berapa motormu, berapa AC di kamarmu, berapa nama raja yg tercantum di silsilahmu, berapa ribu potong pakaianmu, berapa gelar yg dipunyai orang tuamu, berapa piala yg menghiasi lemari pajanganmu, berapa hp yg kamu punyai, berapa harga laptop yg kamu beli, seberapa besar kamu menyukaiku. untuk dapat membuatku tertarik padamu.


Kamu yang hanya dibalut biru putih, sudah dapat membuatku tertarik. Tak perlu yg lain!



Persetan mereka atau kamu menganggapku picik dan memanfaatkan.
Memang aku peduli?

Aku tulus!

Aku hanya melakukan apa yg harusnya dilakukan untuk kekasihnya.

Tak peduli kekasihnya sedingin gunung es atau setajam mata pisau!"

Aku benci melihat kenyataan kalau ternyata semudah itu kamu melupakan namaku dari hidupmu.


Aku benci ketika pada akhirnya aku menangis. Karna semua ini membuatku tak mampu menyembunyikan kekecewaan.

Aku yang terlalu bodoh ini tak dapat mematikan rasa saat kamu memalingkan kata dan Tidak peduli.

Aku lemah ketika kenangan itu mulai menusuk dan membusukkan otakku. Lidahku terasa tawar untuk merasakan bulir air mataku yang menetes diatas bibirku.


Aku hanya bisa diam dan menggeram menerima semua ini.

Kamu yang terlalu dingin untuk merasa. .
Akhirnya merongsokanku di atas sampah.

Baru sekali ini aku berkeras, aku ingin mati saja.

by : Devandira, my Love

Rabu, 14 April 2010

Puisi intuk Alay

Puisi Untuk Alay

Perubahan zaman memang berkembang pesat
Berbagai teknologi saling kejar mengejar
Sekarang wireless padahal dahulu kawat
Menjadikan dunia yang kecil serasa besar

Dahulu kakek nenek kami buta huruf
Dan ayah ibu kami belajar membaca
Kini kami menguasai berbagai huruf
Tetapi adik-adik kami malah mengacaukannya

Jika mereka tau betapa dahulu huruf tercipta
Dan angka-angka membantu kami untuk berhitung
Maka mereka mungkin akan menghargainya
Karena angka dan huruf bukanlah untuk digabung

Kata demi kata yang tercipta dari peradaban manusia
Adalah sebuah budaya yang harus dipertahankan
Karena budaya menjadikan kita lebih berwarna
Dan mempertahankannya membuat bangsa lain menjadi segan

Kata demi kata tercipta menjadi bahasa
Angka demi angka membuahkan matematika
Tapi kini mereka mencoba menggabungkannya
Hingga kami menjadi sulit untuk membacanya

Jika adik-adikku memahami kata untuk berbagi rasa
Dan berusaha menjadi diri yang semestinya
Maka hargailah budaya kita yang sangat kaya
Karena ALAY membatasi kita untuk berbagi rasa

W.S. Darmadi
12 April 2010
00:00 WIB

Translate untuk kaum Alay :

Pu3 Untk 4lay

prubHan 24mn mmn6 brkmbn6 p354t
brbg TkN0l6 s4LNg k3jr Mn6jr
5Kr4n6 wrl5s P4dhl d4hl KWt
MnjdKn dn YAn6 kcl sr5 Be5r

dhl kkK nNk k4m1 Bt Hrf
dn 4yH Ib kM bLjr mmBc
kiN k4M mn6S brb64 hrF
tTp 4d1k-DK kM mLh M3n6c4K4nny

jK MRk t btP DHl hurUf tRC1pt
Dn 4n6k4-n6K4 mEmbnT km untK brHtn6
m4K mrk mn6kN Akn mn6hr6ny
kRn 4n6k dn hrF bUknl4H unTK d1gbn6

Kt dm kta ynG trcpt dr prdbn m4Nu5
4Dlh 5bh bUd4y yn6 h4rs dprThnk4n
Krn4 bDy mnj4diKn kt4 lbh brw4Rn
dn mmprTHNkNny MmbT bng5A Ln MNjd 53gn

Kt d3m K4t4 t3rCpt menjd1 Bhs
4n6K dm 4n6k mMBuhKn mtmtK
tp Kni mrK mncb4 men66bn6kNny
hn66A kM MNJd sLT untk mEmbCNy

jK 4dk-dKk mmHM1 k4t UNtk BRb6 rSa
dn br54Ha m3njd dr1 yn6 5msT1ny
mk4 hR61lh bUDy kt y4n6 5n6t kay
krn 4ly m3Mbt45 Kt4 UntuK brb46 r5

-W.5. daRm4D1 Y6 Gu4nT3NG B3udth-
12 4pRl 2010
00:00 wb






sumber :

http://un2kmu.wordpress.com/2010/04/12/puisi-untuk-alay-pu3-untk-4lay/

Minggu, 04 April 2010

The Chain When the War Begins

VII

Ancaman Barbar

 

            Matahari masih mengintip dari ufuk barat saat dia bangun. Udara di sekitarnya masih terasa dingin. Jantungnya berdegup kencang dan keringatnya mengalir deras. Istrinya terkejut menyadari suaminya seperti itu.

            “Ada apa?” tanya istrinya. “Mimpi buruk lagi?”

            “Ya...” jawabnya lesu. “Mimpi yang sama.”

            “Tenanglah” katanya sambil memeluk tubuhnya yang dingin. Berkeringat dingin. “Semua akan baik-baik saja.”

            Dia mengangguk. Kasurnya yang besar terlihat sangat berantakan. Obor di samping kasurnya masih menyala. Pintu besar di depannya masih terkunci. Tapi, kenapa hawanya begitu dingin?

            “Sekarang, bangunlah. Nikmati udara segar ini. Aku juga mau bangun,” ajak istrinya.

            “Masih dingin,” tawarnya.

            “Kau ini...” dia memukul perut suaminya pelan, lalu kemudian menciumnya. “ayolah, apa kata rakyatmu jika melihat rajanya bangun siang?”

            “Rakyatnya tidak akan bangun.”

            Istrinya tertawa. Dia bangkit dan memakai jubah tidurnya. Dia membuka pintu balkon dan menatap kebun di bawahnya. Penjaga di menara utara tersenyum dan mengangguk ketika melihat Sang Raja berdiri di balkon. Di kejauhan, tampak kota Feraux dan gerbang kotanya.

            Dia melamun membayangkan takdirnya. Takdirnya sudah berubah dari enam bulan lalu, saat dia menjadi raja. Tapi walau begitu, semua berubah total. Semua memandang dia licik. Dia menggunakan taktik untuk merebut tahta. Tapi, tidak. Itu semua adalah mandat Lord Feraux 2000 tahun lalu.

            “Sayang, cepat mandi. Ada tamu.” Istrinya membuyarkan lamunannya.

            “Hah? Siapa?”

            “Utusan dari Kuil Vudhavera. Kita tidak bisa menolak utusan dari kuil bukan?”

            Dia mengangguk dan beranjak mandi. Setelah itu, dia datang ke ruang tamu untuk menyambut utusan kuil tersebut.

            “Salam, Lord Iraz de Tortio, Lord Negeri Air Kemenangan,” utusan itu membungkuk dalam-dalam. Mereka tidak berlutut karena itu tidak diprbolehkan. Berlutut hanya untuk Kepala Kuil. Apalagi bersujud. Bersujud hanya untuk Dewa saja. “Nama saya Sakyaovigarhani. Biksu kuil Vudhavera Utara.”

            “Terima kasih. Silahkan katakan, apa tujuan anda datang ke sini,  Biksu Sakya?” jawab Lord Iraz.

            “Saya diutus untuk memberikan beberapa jimat untuk anda. Semoga, dalam tahta anda akan terhindar dari segala bahaya.”

            “Terima kasih. Katakan pada Kepala Kuil Vudhavera, saya sangat berterimakasih.”

            “Tidak apa-apa, Lord,” ujar Biksu. “Saya yakin, jimat ini akan berguna karena diperlukan kekuatan untuk membawanya ke mari.”

            “Maksud anda?”

            “Gurun mulai tidak aman, Lord ananda yang Agung,” terang Biksu Sakya. “Ancaman Barbar mulai terlihat lagi. Mereka mulai beraksi lagi, bahkan sampai di dekat kuil. Di perjalanan, mereka berniat mencuri jimat ini. Syukurlah, Dewa menolong kami.”

            “Bukankah pemimpinnya sudah mati 20 tahun lalu?”

            “Ya. Tapi, ada pemimpin baru. Dia lebih berani dan nekad.”

            Lord Iraz berfikir sejenak. Jika dia mengirim bantuan kepada Kuil Vudhavera Utara, mungkin rakyat akan menatapnya lebih baik. Setidaknya, rakyat akan mengenal kebaikannya karena memberikan penjaga ke Kuil Vudhavera.

            “Bagaimana jika aku mengirim beberapa ksatria untuk menjaga Kuil Vudhavera?” tanya Lord menawarkan diri.

            “Suatu kehormatan menerima bantuan anda, Lord Air Kemenangan,” jawab Biksu Sakya.

            “Baiklah. Aku akan mengirim beberapa ksatria ke sana,” ucap Lord Iraz sambil bangkit untuk mengambil jimat yang diberikan Biksu Sakya di meja bundar besar di samping singgasananya.

            “Tak semudah itu!”

            Lord Iraz dan Biksu Sakya sama-sama menoleh ke arah suara itu. Seorang pria berambut pendek berdiri bersandar di kusen pintu besar ruang raja. Dia menghisap rokok besar mirip cigaret dan tersenyum mengejek.

            “Anda pikir, ksatria itu mau saja anda suruh untuk menjadi penjaga? Merendahkan martabat sekali,” ujarnya sambil menghembuskan asap rokok.

            “Sedang apa kau di sini?” tanya Lord padanya.

            “Tidak ada apa-apa. Hanya mengamati ruangan yang seharusnya menjadi milikKU.” Dia beranjak dari pintu dan membantingnya. Wajah Lord tampak tidak senang.

            “Kalau begitu, saya mohon pamit. Anda tidak perlu repot-repot mengirim bantuan,” kata Biksu Sakya pamit.

            “Tidak. Aku tetap akan mengirim penjaga ke Kuil Vuhavera. Tenang saja,” ujar Lord Iraz.

            “Terima kasih. Baiklah, saya mohon pamit. Salam untuk Anda, Lord Iraz de Tortio, Lord Air Kemenangan.”

            Biksu Sakya keluar dari ruangan raja. Lord Iraz bangkit dan mengambil jimat yang diberikan padanya. Ada lima buah. Satu berbentuk bulan, satu berbentuk matahari, satu berbentuk awan, satu berbentuk bumi, dan yang terakhir sangat besar. Jimat itu berbentuk teratai.

            “Sedang menikmati jimatmu?”

            “Apa maumu, Edwin?” gertaknya pada pria berambut pendek tadi.

            “Bukan apa-apa,” jawabnya. Dia masuk ke ruang raja dengan ringan. Matanya terus mengawasi mata Lord Iraz. “Kalau bukan karena mandat itu, aku sudah menjadi Lord Edwin yang Agung di sini. Lord Edwin de Orland.”

            “Aku tahu itu. Tapi, mandat dari Lord Feraux tak bisa diubah. Bukankah dia juga kakekmu? Sangat memalukan kalau kau mengkhianati wasiatnya,” ujar Lord Iraz.

            “Aku tidak bermaksud mengkhianatinya. Tapi, kau tahu sendiri, rakyat menatapmu sebelah mata bukan, Raja Palsu? Tanpa menkhianati mandat Lord Feraux pun, rakyat lebih memihak padaku. “

            Lord terdiam. Itu memang benar. Rakyat lebih memihak keturunan Lord Feraux langsung untuk menjadi raja. Mereka menganggapnya Raja Palsu, Raja yang merebut tahta, Raja licik, dan yang lain.

            “Jadi, kau menginginkan tahta ini? Ambillah. Aku juga tidak tertarik,” kata Lord Iraz.

            “Tidak. Tidak semudah itu. Rakyat akan mengira aku bersekongkol denganmu. Bukan sekarang waktunya untuk ini,” jawab Edwin.

            “Bukan sekarang? Maksudmu?”

            “Kau akan tahu, Lord Iraz de Tortio. Lord Tortio yang pertama—sekaligus yang terakhir.”

            Edwin melangkah pelan ke arah pintu. Rokoknya ia buang ke karpet biru di ruangan itu. Lord Iraz menatapnya dari belakang sambil maju selangkah.

            “Kau ingat, Edwin, Putra Lord Septhyn de Orland! Jangan macam-macam denganku. Aku menghormatimu sebagai Putra Lord Orland terakhir. Tapi, jangan buat kau kehilangan kehormatanmu sendiri!” Lord Iraz memperingatkan.

            Edwin tersenyum tanpa berbalik.

            “Kita lihat nanti, Iraz.”

The Chain When the War Begins

VI

Sang Lord Baru

 

            Dia berjalan perlahan ditemani ayahnya. Rambut hitamnya tertiup angin sehingga menutupi pandangannya. Ayahnya tersenyum dan membantunya merapikan rambutnya. Dia lalu membetulakan tasnya dan melangkah masuk ke gerbang. Penjaga gerbang tersenyum ke arah mereka.

            “Ingat, Jonathan. Jangan nakal. Sudah kaukerjakan tugasmu?”

            “Tugas yang mana ayah?” tanya anak itu.

            “Dasar. Ayah tidak akan bertanggung jawab jika kau nanti dihukum.”

            “Iya yah.” Jonathan menjawab malas.

            Sang ayah lalu mengangguk ke arah penjaga gerbang. “Kau masih saja setia di sini, Pak Gerald.”

            “Tentu saja, Iraz. Melihat anak-anak membuatku bahagia. Tapi, tentu saja bukan anak-anak nakal sepertimu dulu.”

            “Jadi, aku nakal ya menurutmu?”

            “Kau tahu,” Pak Gerald mendekati lonceng hendak membunyikannya. Pelajaran akan segera dimulai. “semua anak memang nakal.”

            Iraz lalu berpamitan dan menaiki kudanya kembali. Ada tugas penting yang harus ia selesaikan. Panggilan Sang Raja bukanlah sesuatu yang biasa. Baru kali ini selama 13 tahun menjadi Duke di Giardoni dia dipanggil khusus oleh raja untuk dirinya sendiri, bukan kepada Anggota Dewan untuk mempertanggung jawabkan pemerintahannya.

            Dia sampai di gerbang istana. Gerbang yang sangat besar yang ada di Orland. Panjangnya sekitar 20 meter dengan lebar sekitar 15 meter. Tak lupa dengan tinggi antara 15-18 meter dan memiliki pintu yang berlapis-lapis. Lapis pertama adalah jeruji biasa sedang lapis kedua adalah pintu kayu yang terbuat dari kayu ek kualitas pilihan. Lapis ketiga adalah pintu besi yang akan mengantarkan kita memasuki pelataran istana. Iraz mengangguk dan memperlihatkan surat undangan raja pada penjaga gerbang. Dia tampak mengangguk lalu kemudian mempersilahkan Iraz masuk.

            Jeruji pertama membuka. Kemudian disusul pintu kayu besar itu. Di sana, sebelum pintu besi terbuka dan ia dapat memasuki pelataran istana, kudanya harus ditempatkan di tempat khusus dan Iraz akan ditemani oleh beberapa penjaga.

            Pintu besi itupun terbuka dan Iraz merasa sangat takjub. Jalan di bawahnya bukan lagi batu, tetapi marmer. Jalan itu sangat lebar sehingga cukup untuk berbaris 200 pasukan. Di sekelilingnya tumbuh pepohonan dan semak-semak yang dibentuk seperti ksatria, yang ditanam mengelilingi patung Lord Feraux de Orland yang berdiri kokoh di tengah kolam yang terbuat dari marmer juga. Di depan Iraz, berdiri istana Orland—yang dikenal sebagai Istana Gelombang, karena bentuknya lingkaran yang berlapis-lapis—yang terbuat dari batu granit, kayu, dan besi.

            Iraz menaiki tangga di pelataran istana. Karpet biru yang terbuat dari beludru memanjang dari pelataran sampai aula besar berbentuk lingkaran di tengah istana. Dari aula itu ada beberapa lorong yang menuju ke puluhan ruangan di Istana Gelombang itu. Iraz dibawa dari aula ke lorong di depannya yang menuju ke ruang rapat istana.

            Pintu ruangan itu terbuat dari besi dan berukuran sangat besar. Di depannya, berdiri dua penjaga, salah satunya berbisik pada penjaga yang mengawal Iraz. Dia tampak mengangguk.

            “Silahkan masuk, Tuan Iraz.”

            Iraz mengangguk dan memasuki ruang rapat itu sendirian. Di depannya ada sebuah peta besar. Di sekeliling peta itu, berjajar kursi-kursi beludru yang biasa digunakan oleh menteri dan Anggota Dewan. Ada sekitar 200 kursi dengan sebuah sebuah kursi besar, pasti milik Lord. Kursi itu bukan hanya besar, tapi bisa dinaik-turunkan. Di situlah duduk Lord Septhyn yang sudah menunggu Iraz. Selain itu, kursi-kursi lain juga sudah diduduki oleh beberapa menteri dan Anggota Dewan.

            “Selamat Datang, Iraz de Tortio.” Suara Lord Septhyn menggema di dinding ruangan. Beberapa menteri tampak mengangguk sambil tersenyum, beberapa ada yang membuang muka dan beberapa ada yang jelas-jelas menampakkan perasaan tidak senang.

            Iraz berlutut. Lantainya yang terbuat dari marmer terasa dingin. Iraz menunduk perlahan sebelum akhirnya menatap Lord Septhyn. Muka Lord itu bundar, dengan rambut pirang yang dipotong pendek dan ditutup mahkota. Walau begitu, kumis dan jenggotnya yang lebat tidak berwarna pirang juga. Dia mengenakan jubah biru yang panjang dengan kerah tinggi yang terbuat dari beludru. Beberapa menteri mengenakan pakaian yang hampir sama—tapi tanpa mahkota, tentu saja.

            “Silahkan duduk, di mana saja silahkan.” Iraz mengangguk menuruti ajakan Lord itu.

            “Perkenalkanlah, Iraz de Tortio, putra dari Rouis de Tortio, Duke dari Giardoni.” kata Iraz memperkenalkan diri.

            “Aku terima perkenalanmu, Putra Rouis. Aku adalah Lord Septhyn de Orland, keturunan ke-50 dari Feraux de Orland, Lord Agung dari Tanah Kesuburan ini.” balas Lord Septhyn memperkenalkan diri (walaupun secara teknis, semua orang sudah mengenalnya). “Dan mereka adalah para menteri Negara.” tambahnya sambil menunjuk para menteri yang hadir.

            Satu persatu para menteri memperkenalkan diri mereka. Tentu saja, menteri-menteri itu tidak bisa menyembunyikan raut wajah mereka. Setelah itu, Lord memulai pembicaraannya.

            “Lord Agung kita, Lord Feraux de Orland, pernah menulis sebuah wasiat tentang Negara ini.” Mimik Lord Septhyn mulai serius. “Ada beberapa hal yang pernah beliau tulis mengenai hal-hal tentang pemerintahan. Yang—sudah kita ketahui—beberapa darinya menjadi Hukum Dasar Orland.”

            Iraz menyimak pembicaraan ini dengan serius. Dia menjadi semakin penasaran, apa sebenarnya tujuan dia dipanggil ke rapat ini?

            “Pertama, tentang sistem pemerintahan. Seperti yang beliau katakan: ‘Pemerintahan Orland adalah dipegang oleh seorang Lord yang dibantu oleh para menteri dan dipertanggungjawabkan kepada Anggota Dewan Negara’.”

            “Kedua, tentang jabatan Lord. Dalam wasiatnya tertulis : ‘Lord adalah putra tertua dari klan Orland, yang mana bisa berubah sewaktu-waktu’.”

            “Dari kedua itu, aku akan membahas masalah kedua. Jika dinyatakan bahwa Lord dapat berubah sewaktu-waktu, maka mungkin maksudnya sekarang.” Lord Septhyn menjelaskan panjang lebar.

            “Ada sebuah wasiat lagi dari Lord Feraux yang masih ada hubungannya dengan yang kedua tadi : ‘Setelah 50 generasi setelahku, kedudukan Lord akan digantikan oleh keturunan Giardoni de Tortio, yang mana telah berkorban untukku dalam pencarian Tanah Kesuburan ini’.”

            Iraz terkejut. Apa yang dibacakan oleh Lord Septhyn tadi terdengar tidak mungkin.

            “Sesuai dengan silsilah, aku adalah Lord Orland ke-50. Itu artinya, aku juga keturunan ke-50 dari Lord Feraux de Orland.” Lord Septhyn berdiri dari kursinya.

            “Oleh karena itu, sesuai dengan mandat Lord Feraux, aku wajib menyerahkan kekuasaan pada Anda, klan Tortio; Lord Iraz de Tortio.”

            Iraz sangat terkejut ketika semua menteri berlutut padanya.