III
Dua Murid Akademi
25 tahun lalu, Akademi Bookea dan sekitarnya
Feraux, ibukota Orland
Negara ini dinamai Orland, sesuai nama pendirinya. Ibukotanyapun juga begitu. Ibukotanya di namai sesuai nama depan pendirinya, Feraux. Kota lain juga diberi nama seperti nama pejuang saat perang besar 2000 tahun yang lalu.
Itulah yang dipelajari Iraz, seorang pemuda di kelas geografi. Menurutnya, geografi sangat membosankan. Gurunya, Ibu Neny, guru tua yang hampir pensiun. Sebagai anak muda, jiwanya selalu menolak sesuatu yang membosankan. Dan geografi salah satunya, apalagi jika gurunya seperti Ibu Neny itu.
Hari masih pagi saat ia keluar dari gedung akademi. Akademi Bookea, akademi tertua di Orland. Didirikan oleh James lan Bookea, seorang cendekiawan terhebat masa itu. Waktu itu sekitar 1090 tahun yang lalu. Ia mendirikan akademi ini karena ia ingin mengabadikan ilmu di Orland sejak didirikannya negara ini. Dia juga mendirikan ini karena takut sejarah dari berdirinya Orland akan terlupakan, atau mungkin akan salah karena sudah terpindah dari mulut satu ke mulut lain jika tidak ditulis dan dijadikan bahan pelajaran di akademi ini.
Iraz tidak peduli dengan sejarah akademinya sendiri. Padahal, itu adalah mata pelajaran yang wajib dihafalkan oleh seorang bangsawan. Iraz sendiri adalah seorang bangsawan, atau mungkin secara teknis saja. Tidak ada yang tahu kalau Iraz adalah bangsawan jika tidak ditanya. Wajahnya memang putih, tapi rambutnya hitam sama seperti matanya. Pakaiannya hanya rompi coklat tua berkancing plastik hilang satu, celana kulit coklat selutut, dengan sepatu boot hitam usang. Rambutnya jarang disisir karena ia sering terlambat ke akademi.
Di kelaspun sikapnya tidak pernah tampak seperti seorang bangsawan berpendidikan. Duduknya satu kaki di atas, selalu mencemooh guru, tidak pernah sopan, provokator, dan tidak pernah bisa diam. Orangtuanya adalah langganan dipanggil kepala akademi. Tapi anehnya, tidak ada yang bisa menyaingi kepandaiannya di akademi ini. Dia selalu menjadi juara di seluruh akademi. Jadi, guru-guru sangat sulit menentukan apakah ia harus tetap bersekolah karena kepandaiannya ataukah harus keluar karena kenakalannya.
Dia sedang duduk di kursi batu di taman yang terletak di tengah-tengah kompleks akademi. Pemandangan yang ia lihat selalu sama; anak-anak yang menenteng buku-buku tebal berbaris memasuki ruangan kelasnya. Dia lalu memutuskan untuk berjalan ke lobi masuk. Selain untuk menaruh buku-bukunya di lemari, dia juga hendak bertemu sahabatnya.
Beranjak dari kursi terasa sangat melemaskan. Dia melangkah perlahan menuju lorong di depan kelas-kelas. Sepanjang lorong, hanya kelas-kelas biasa yang ia lihat; Kelas Matematika, Kelas Astronomi, Kelas Kimia, Kelas Sosial, Kelas Bahasa, dan Kelas Fisika. Sebenarnya, bukan cuma ini saja kelas-kelas di Akademi Bookea. Di bagian timur, ada kelas-kelas untuk perempuan; Kelas Rias dan Kelas Memasak. Di bagian belakang akademi ada kelas untuk 18 tahun ke atas; Kelas Sihir, Kelas Militer, dan Kelas Pemerintahan. Iraz terus berjalan menuju lobi. Sampai di depan lemari bukunya, ia membukanya dengan sebuah kunci perak dan kemudian menaruh bukunya di dalam lemari itu. Dia mengambil buku untuk kelas selanjutnya; Astronomi. Tepat saat dia hendak menutup kembali lemarinya, seorang pemuda berambut hitam rapi dan bermata hijau datang.
***
Aku terkejut bukan main. Dia sudah lama kutunggu. Kenapa baru muncul sekarang?
“Jimmy van Geority. Lama sekali kau?!” tegurku padanya.
“Maaf. Aku baru saja dari belakang. Kakakku menyuruhku membawakan buku sihirnya yang tebal-tebal itu. Bayangkan, tiga buah buku setebal 2000 halaman kubawa. Tanganku sampai sakit. Tapi, kakakku kulihat baik-baik saja.” ujarnya berdalih.
“Cepat! Waktuku tidak banyak. 15 menit lagi aku harus masuk Kelas Astronomi. Kita harus ke sana!” ajakku tanpa menghiraukan alasannya tadi.
“Wow...wow....sabar, sahabatku Iraz de Tortio. 15 menit itu waktu yang lama. Pak Tua itu mungkin saja pulang dari Pleocity. Mungkin dia masih lelah.” jawabnya. Dia masih berdiri di situ.
“Yah, aku sudah berjanji padanya Jim.” kataku sambil mulai berlari. “dia pasti juga sudah menunggu kita.”
Kami mulai berlari keluar kompleks akademi. Memang ada penjaga di gerbang. Tapi, saat istirahat gerbang dibuka lebar. Semua murid boleh masuk-keluar. Tapi jika terlambat, resiko ditanggung sendiri. Nah, itulah yang kutakutkan.
Kelas Astronomi memang bukan kelas biasa. Gurunya, Bapak Juard sangat galak. Jika terlambat satu detik saja, kau bisa diberi pekerjaan rumah yang banyak sekali. Tidak jarang aku harus mengunjungi sumber lain. Bahkan, aku pernah naik ke atap menara pengawas gerbang kota pada tengah malam hanya untuk melihat bintang apakah yang ia tanyakan dalam pekerjaan rumahku. Pulangnya, aku diborgol oleh penjaga gerbang.
Tujuan kami sebenarnya memang mulia, membantu Pak Tua Flacoln. Dia baru pulang dari Pleocity. Pleocity adalah kota terjauh dari ibukota, letaknya di sebelah timur laut Orland, berbatasan langsung dengan Gurun Bigon dan Negara Kutub di utara. Di sana termasuk kota yang menarik wisatawan, hanya mempunyai tiga musim; musim dingin, musim semi, dan musim gugur. Walau tidak ada musim panas, tapi suhu di sana adalah yang terpanas di Orland. Suhu bisa naik sampai 490. Itu terjadi karena daerah itu berbatasan dengan Gurun Bigon milik Negara Timur Jauh. Tapi saat musim dingin, suhu bisa turun sampai -300. Pasir di gurun itu bisa sampai membeku. Nah, pekerjaan Pak Flacoln itu adalah mengambil pasir beku itu dan membawanya ke sini. Dia bisa menjulnya ke toko pajangan atau toko cinderamata. Dan, tugas kami membantunya agar pasir itu tetap beku.
Setelah mengambil dari gurun, Pak Flacoln harus memasukkannya ke sebuah lemari pendingin dengan suhu kurang dari -300. Setelah sampai ke ibukota, dia harus memindahkannya ke lemari pendingin yang sudah siap di antarkan ke pedagang di toko cinderamata atau toko pajangan. Tentu saja itu sulit kan? Nah, kami yang akan membantunya.
Sebenarnya, dia tidak meminta kami membantunya. Lagipula, kami tidak minta dibayar. Kami—ehm, sebenarnya aku—sudah mendapatkan bayaran yang setimpal dengan membantu Pak Flacoln. Isabella.
Ya, Isabella. Putri satu-satunya Pak Flacoln. Dia manis. Wuih....mata hitamnya yang bulat dipadu dengan kulit putihnya yang cerah. Kata Jimmy, dia mirip denganku. Rambut hitam panjangnya selalu diikat berkepang dua, membuatnya semakin terlihat manis. Ah....
Kami sampai di depan rumah Pak Flacoln. Rumah itu masih tampak sepi. Hanya satu jendela yang terbuka. Kereta Pak Flacoln juga tidak tampak. Ah, apa kami harus menunggu?
“Eh..sst...bagaimana ini?” tanyaku pada Jimmy.
“Tidak tahulah. Tunggu saja.” jawabnya singkat.
“Tapi, aku bisa terlambat.” sanggahku.
“Aku juga. Tapi, kau yang meminta ini semua kan?” tanyanya padaku. Aku mengangguk pelan.
“Kalau begitu, tanya saja!” katanya memberi usul.
“Hah?”
“Tanya saja!”
“Siapa?”
“Itu.”
Dia menunjuk ke jendela yang terbuka. Aku meringsut untuk mengintip. Ternyata, perempuan manis itu. Ia sedang menyulam kain kecil berwarna biru. Gaun coklatnya yang panjang tampak terang tertimpa cahaya matahari yang masuk lewat jendela. Rambut panjangnya digerai sampai ke punggung. Ah....dia tampak lebih manis. Bukan cuma manis, cantik.
“Tanya?” kataku ragu.
“Ayolah....ini kesempatan langka buatmu lho.” kata Jimmy sambil tersenyum.
Aku melangkah ragu ke pintu depan rumah itu. Pintunya terbuat dari kayu ek yang sudah tua, lalu dicat apa adanya. Jika kuketuk, dia pasti keluar. Lalu, aku harus bilang apa?
Isabella juga murid Akademi Bookea. Tapi, dia hanya masuk di kelas khusus perempuan saja dan tidak masuk kelas umum. Memang kebanyakan anak perempuan di Feraux seperti itu. Jadwalnya seminggu dua kali di Kelas Memasak dan Kelas Rias. Kemarin, dia sudah masuk Kelas Memasak. Kelas Rias dilaksanakan dua hari setelah Kelas Memasak. Jadi, hari ini dia libur.
Selama libur, banyak hal yang ia lakukan. Biasanya menyulam, menimba air, memasak, atau membantu pamannya berjualan di toko roti. Aku sering melihatnya. Dan, aku selalu menyempatkan diri untuk membeli roti di toko itu, hanya untuk melihat keponakan dari si gendut pemilik toko.
Jimmy menyikut pundakku. Aku tersentak. Dia mengisyaratkanku agar cepat. “Cepat....nanti kita terlambat.”
Aku mengangguk. Sambil menahan nafas, kuketuk pintu itu perlahan. Kudengar suara kaki mendekat dari dalam rumah. Jantungku berdebar semakin kencang. Argh.....
“Oh...kalian! lama sekali. Aku sudah menunggu selama satu jam, dan kalian belum muncul. Jadi, aku putuskan untuk memindahkan pasir beku itu sendiri sebelum mencair.”
Aku terkejut. Pak Flacoln berdiri di ambang pintu. Dia sudah tampak rapi. Rupanya, kami terlambat membantunya.
“Maaf, Pak. Kami.....kami tidak sempat membantu.” ujarku pelan. Dia mengangguk mengerti. Aku menoleh ke Jimmy. Dia sempat menunduk pelan ke arah Pak Flacoln lalu kemudian kepalanya berbalik menatap gedung akademi. Aku tahu maksudnya.
“Maaf Pak, kami harus kembali ke akademi. Maaf tidak sempat membantu.” ujarku.
“Tidak apa-apa, kalian yang meminta. Belajarlah yang rajin.” sarannya. Kami mengangguk. Lalu kemudian, samar-samar di belakangnya, aku melihat putrinya memakai gaun panjang coklat dengan rambut tergerai. Dia menatap kami—aku—sekilas lalu kemudian terpaku. Aku berusaha tersenyum padanya tapi Jimmy keburu menarik lenganku.
Tapi, yang terindah, dia malah tersenyum padaku. Oh...Isabella del Flacoln. Sepertinya aku mencintaimu.
0 comment:
Posting Komentar