THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 04 April 2010

The Chain When the War Begins

IV

Ksatria Bukan

Sebagai Penghibur

 

24 tahun yang lalu, arena pertandingan kuda dan sekitarnya

Giardoni, Kota Bangsawan Orland

 

            Aku sedang tiduran di dekat perapian saat aku mendengar derap kaki kuda. Aku langsung bangkit dan melongok ke jendela. Puluhan kuda berbaris rapi dan ditunggangi seorang ksatria berbaju zirah lengkap dan berjubah. Jubah mereka melambangkan negara masing-masing, dan biru adalah warna Orland.

            Biru adalah warna kehidupan. Air berwarna biru, langit juga berwarna biru. Pegunungan pun tampak biru dari kejauhan. Itulah warna jubah ksatra kami, tidak hanya berperang, tapi juga untuk bertanding.

            Aku segera bergegas keluar dan menghampiri Jimmy. Jimmy sudah menunggu di depan rumahnya.

            “Ayo....!! perlombaan dimulai 1 jam lagi.” ajakku.

            “Tidak mau, kau saja.” jawabnya lesu.          

            Aku bingung.

            “Hei...ada masalah apa kawan? Ceritakanlah!” pintaku padanya.

            Dia diam saja. Mungkin dia masih belum percaya padaku.

            “Oh...dengar. Apa aku pernah membocorkan rahasiamu?” Dia menggeleng.

            “Jadi, ceritakanlah! Siapa tahu aku bisa membantu.” ujarku lagi sambil tersenyum.

            Kami terdiam agak lama. Hanya teriakan para penonton yang sudah menunggu di arena yang terdengar sangat jelas.

            “Kita...” dia memulai, “kita sudah berjanji untuk meraih ilmu di akademi bersama. Bahkan, sampai Timur Jauh kalau bisa. Setelah itu, kita akan menjadi ksatia yang gagah, ksatria yang agung, yang dihormati, bahkan ditakuti.”

            “Memang.” jawabku.

“Aku takut, aku tidak akan bisa bersamamu lagi.”

Aku terkejut.

“Kau tahu, aku sebatang kara di sini. Orangtuaku sudah meninggal. Aku tinggal bersama pamanku. Sebentar lagi, pamanku akan pindah ke Paddyville. Dia akan segera pensiun dari penjaga gerbang istana. Kami akan hidup damai dan tenang di sana.”

Aku terkejut bukan main. Mimpi yang sudah direncankan itu akan musnah?

“Tidak. Kau tidak perlu ikut pamanmu. Kau bisa tinggal denganku!” sanggahku.

Dia menggeleng. “Tidak bisa, Iraz. Pamanku sudah tua. Dia juga satu-satunya keluargaku di Orland. Aku harus menjaga dan merawatnya jika sudah tua nanti.”

“Tapi....kalian kan bisa tinggal di rumahku!”

“Tidak bisa, terlalu merepotkan.”

“Tapi.....”

Sementara di arena, para penonton sudah berteriak. Lalu kudengar, suara tombak dan baju zirah beradu.

“Aku harus siap-siap, Iraz. Maaf aku tidak bisa menemanimu.” kata Jimmy lagi.

Aku mengangguk lesu. Lalu aku berbalik dan melangkah menuju arena.

 

***

Semua penonton berdiri, begitu juga Lord Septhyn de Orland dan Lord-Lord yang lain. Mereka bertepuk tangan. Riuh terdengar dari arena. Aku masih berada di gerbang arena. Penjaga gerbang tersenyum dan mempersilahkanku masuk.

Ternyata, sekarang waktunya ksatria dari Orland melawan ksatria dari Mingchin atau Negeri Timur Jauh. Kaisar Mingchin, Wanghuan Yau bertepuk tangan paling keras dan antusias. Disebelah kanannya, berdiri Kaisar dari Suburia, Negeri Kutub, Tsar Igor Icebuarg. Kaisar Wanghuan Yau sendiri berdiri di sebelah kanan Lord Septhyn de Orland yang berdiri di sebelah kanan Lord Mouxian. Di sebelah kiri Lord Mouxian, berdiri Ketua Hiaci-om-Umsani, pemimpin Negeri Rawa, Arafcani. Di sebelah kiri Ketua Hiaci-om-Umsani, berdiri Ketua Ciakhi, pemimpin Negeri Barat Jauh, Azmarican. Sebenarnya, banyak sekali Lord-Lord yang berdiri berjajar membentuk setengah lingkaran yang menghadap arena. Tapi, banyak yang aku tidak tahu.

Aku masuk ke arena. Ada satu tempat duduk kosong khusus bangsawan di barisan keempat dari bawah. Aku segera menuju ke sana dan duduk. Disampingku, seorang Duke berpakaian sopan; jubah biru panjang dengan celana kulit yang berwarna hitam. Dia memakai topi bundar dengan bulu biru di atasnya. Kumisnya sedang—tidak tebal tidak tipis—dicukur rapi sehingga membentuk huruf “u” yang memanjang. Dia tersenyum padaku. Sepertinya, aku mengenalnya.

“Selamat siang, anak muda.” sapanya. Oh ya! Aku tahu siapa dia.

Geodea de Afteroon[1], Senor Duke William lan Bookea.

Dia tampak terkejut karena aku membalas sapanya dengan Bahasa Eporia Kuno dan juga dengan memanggil namanya.

            Greet..mosli peopel duno ebiot de asine Eporia ov lankuage![2]” balasnya.

            Oh...yeah...beuize Il ame dhe stadien de Bookea Academi[3].”

            “Oh...begitu. Bangga rasanya salah satu murid didikku bisa Bahasa Eporia Kuno dengan fasih.” katanya sambil tersenyum bangga.

            Benar kan? Aku mengenalnya karena dia adalah Kepala Sekolah Akademi Bookea. Kepala sekolah akademi ini memang keturunan James lan Bookea. Ini sudah menjadi keharusan. Dewan pendidikanpun tidak bisa mengubahnya karena sudah disetujui Lord Constania, cucu Lord Feraux.

            “Tingkat berapa?” tanyanya.

            Prea-de-Adfans[4].” jawabku.

            Dia mengangguk. Lalu aku memperkenalkan diri. Kami kemudian berbincang banyak tentang Akademi, murid-murid, bahkan situasi politik Orland. Dia orang yang cukup ramah, kurasa. Apalagi, dia tidak pernah menyanggah pendapatku. Dia sangat menghargai orang lain.

            Lalu kami membisu saat kontestan dari Orland masuk. Jubah birunya berkibar saat kuda yang ia tunggangi melesat kencang. Semua penonton bersorak. Helm zirahnya masih terbuka lebar karena ia masih memberi senyum pada penonton. Dia terus melambaikan tangannya ke arah penonton sebelum menunduk dalam ke arah barisan Lord-Lord yang menonton di atasnya.

            “Namanya Juardy van Geomarno.” kata Kepala Sekolah William. “dia adalah salah satu ksatria terbaik lulusan Akademi Bookea empat tahun yang lalu dari Kelas Militer. Banyak ksatria-ksatria seperti mereka yang sekarang menjadi pengibur di arena.”

            Aku tertegun ksatria sudah kehilangan jati diri mereka; yang sebelumnya untuk bertarung sekarang untuk menghibur. Ternyata, kedamaian juga tidak selamanya menguntungkan.

            “Ehm..ternyata, kedamaian juga bisa menghilangkan jati diri seseorang.” kataku memberi pendapat pada Senor William.

            “Ya. Tapi itu lebih baik daripada berperang.” katanya. Baru kali ini selama perbincangan kita, dia menyanggah pendapatku. Sementara itu, Juardy van Geomarno sudah bersiap-siap. Dia mengangkat tombaknya tinggi-tinggi dan mulai berlari ke arah ksatria Suburia, musuhnya.

            “Tapi...” dia melanjutkan. “Walaupun berperang, aku yakin Orland yang akan memenangkannya.”

            Aku mengangguk, sementara ksatria Suburia sudah jatuh dari kudanya karena sodokan tombak Juardy di perisainya.

            Tapi, batinku menolak. Perang tak semudah pertandingan, kan?



[1] Geodea de Afteroon (Bahasa Eporia Kuno): Selamat Siang

[2] Greet..mosli peopel duno ebiot de asine Eporia ov lankuage (Eporia Kuno): Hebat..kebanyakan orang tidak mengerti Bahasa Eporia Kuno!

[3] Oh...yeah...beuize Il ame dhe stadien de Bookea Academi (Eporia Kuno): Oh...ya...karena aku murid Akademi Bookea

[4] Prea-de-Adfans (Eporia Kuno: Pre-Advance): Tingkatan ke-5 Akademi Bookea; Satu Tingkatan dijalani selama 2 tahun kecuali Experd (Expert) dan Master yang masing-masing dijalani selama 4 tahun.

0 comment: