THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 04 April 2010

The Chain When the War Begins

V

Lukisan          

           

14 tahun yang lalu, kebun apel belakang istana

Feraux, Ibukota Orland

           

            Dia disana. Berdiri anggun bak elf yang turun dari langit. Dia mengenakan gaun kebun yang panjang sampai lutut dengan penutup kepala seperti Noni dari desa-desa pinggiran Orland. Mata hitamnya sangat menawan. Rambutnya yang panjang tergerai menambah kecantikannya. Aku mengintip di balik pohon apel yang lebat. Dia tidak melihatku.

            Dia membawa keranjang berisi apel yang cukup banyak, segar pula. Warna merahnya menambah pesonanya yang terpancar melalui atmosfer kecantikan; rambut dan mata hitamnya, gaun coklatnya, penutup kepala putihnya, dan apel-apel yang merah segar itu. Tidak lupa, kulit putihnya. Kalau saja ada pelukis istana di sini, dia pasti akan segera melukisnya.

            Aku mundur selangkah dan menginjak daun kering. Dia mendengarnya lalu menoleh ke arahku. Aku terkejut. Dia juga terkejut. Dia tampak menatapku lama. Mungkin bingung denganku.

            Dia berjalan mendekat. Aku tidak bisa bergerak, kakiku kaku. Dia semakin mendekat dan menaruh keranjangnya ditanah, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu.

            “Kau....Iraz?”

            Aku keluar dari balik dedaunan yang menutupi wajahku sambil mengangguk. Jubah kelulusanku yang berwarna hitam menyapu tanah saat aku berjalan mendekatinya.

            “Iraz....kau? Ini kan jubah kelulusan Akademi Bookea,” komentarnya.

            “Hai, Isabella.” Jawabanku tampak tidak nyambung. “Apa kau baik-baik saja?”

            Dia mengangguk, “Ya...kau?”

            “Sangat!” jawabku semangat, “apalagi setelah bertemu denganmu.”

            Dia tersenyum malu mendengar pujianku. Sementara, angin bertiup sepoi dan menerbangkan beberapa daun kering—salah satunya tersengkut di rambut Isabella.

            “Eh...izinkan aku..” kataku padanya untuk mengambil daun kering di rambut hitamnya. Dia tampak terkejut, tapi kemudian mengangguk. Aku mengambilnya kemudian dia tersenyum padaku.

            “Ehm...aku ikut berduka atas ayahmu...”

            Dia mengangguk. Ayahnya meninggal seminggu yang lalu. Pak Flacoln yang ramah, Sang Pengumpul Pasir Beku.

            “Dia...ayah yang baik.” jelasnya.

            Aku mengangguk.  Aku berusaha menghiburnya, “Terkadang, seseorang yang baik memang selalu pergi meninggalkan kita. Tapi, mereka menunggu kita di sana....”

            “Aku juga telah kehilangan ibuku...dulu sekali.” tambahku.

            Dia mengangguk. Dia tampak menangis pelan. Aku merasa salah telah mengatakan itu. Bukankah dia juga telah kehilangan ibunya sebelum kehilangan ayahnya?

            “Maaf, Isabella, jika kata-kataku menyakiti....” ujarku meminta maaf. Dia mengangguk perlahan dan menyeka air matanya.

            “Seperti yang kau katakan,” ujarnya, “mereka menunggu kita di sana...”

            Aku lalu mengajaknya duduk di bangku batu dekat pondokan. Dia memungut keranjangnya lalu duduk di sebelahku. Dia menawariku sebuah apel, tapi aku menolak.

            “Kebunmu yang mana?” tanyaku.

            “Di sana, saat aku memetik beberapa apel tadi.” tunjuknya ke arah kebun di sebelah timur. “Bukankah tadi kau melihatnya kan?”

            Aku tertawa. Perempuan cerdas, tahu saat dia dimata-matai.

            Kami lalu berbincang-bincang tentang masa lalu. Memang sudah lama aku tidak menemuinya. Selama berada di level Experd[1]          , aku hampir tidak pernah bertemu dengannya. Aku hanya ke bertemu dengannya saat bulan ketiga semester awal level ini untuk berpamitan karena aku akan melakukan studi ke seluruh kota di Orland, itupun dia tidak ada di rumah. Jadi, tentu saja itu tidak bisa disebut sebagai pertemuan juga.

            “Jadi, kapan terakhir kali kau bertemu dengan Jimmy?” tanyanya.

            “Hm....kapan ya. Aku akhir-akhir ini jarang bertemu dengannya. Aku sangat sibuk untuk ujian kelulusan. Dan, inilah aku sekarang; Lulusan Terbaik Akademi Bookea. Hehe...”

            “Wow...selamat ya. Setelah ini, kau mau bagaimana?”

            “Ya....mungkin karena aku masih keturunan Giardoni, jadi mungkin aku akan jadi Duke[2] di Giardoni atau jadi penasihatnya saja. Bukan masalah.” jawabku

            “Bukan itu maksudku. Maksudku tentang sahabat hidupmu!” sanggahnya.

            “Ha?” jawabku bingung. “Sahabatku? Jimmy?”

            “Hahahahaha...” dia tertawa. “Bukan.”

            “Hm...” aku berfikir. Sahabat hidup. Keluarga? Tentu bukan. Keluargaku tidak sepenuhnya menjadi sahabatku. Atau mungkin....

            “Menikah?” aku berusaha menjawab.

            “Ya. Mungkin itu.”

            “Kenapa mungkin? Kau tidak yakin dengan pertanyaanmu?”

            “Itu bisa berarti yang lain.”

            “Contohnya?”

            “Jika kau sudah menikah, mungkin yang menjadi sahabat hidupmu bukan istrimu tapi orang lain. Perempuan lain mungkin.” terangnya.

            “Jangan meragukanku.” larangku. “Aku ini tipe orang yang setia.”

            Kami tertawa. Gila sekali. Dalam 24 tahun aku belum pernah bercakap-cakap dengannya. Sekarang, kami tertawa bersama. Sungguh, aku terkejut sekali.

            “Kenapa kau tidak mencobanya.” kataku.

            Dia mulai serius.

            “Maksudmu?” tanyanya.

            “Ehm...” aku mulai gugup. “Isabella. Bolehkah aku jujur padamu?”

            Dia mengangguk.

            “Mungkin, ini bukan waktu yang tepat. Mungkin saja kau sudah menemukan seseorang yang lain. Tapi, bolehkah aku berkata kalau aku mencintaimu?” kataku perlahan. Sementara, gerimis mulai turun rintik-rintik.

            “Iraz....” jawabnya. “Kau boleh.”

            Aku tersenyum.

            “Setiap malam aku selalu diderita ketakutan dalam diriku. Diriku yang lain berkata kalau aku pengecut. Aku tidak pernah berani berkata bahwa aku mencintaimu. Dan baru sekarang, setelah aku lulus dari akademi, aku baru berani mengatakannya. Apa kau menyayangkan hal itu?” aku mencoba bersyair.

            Dia tampak terkejut. Wajahnya yang putih tampak memerah dan merona. Aku semakin berani.

            “Jika iya, maafkan aku. Aku mungkin tidak berhak untukmu. Tapi, bolehkah aku mendekat dan mendengar jawabanmu?”

            Dia tampak semakin terkejut.

            “Iraz...” katanya pelan. “aku tidak pernah menyayangkanmu. Aku selalu berharap saat-saat ini. Aku juga mencintaimu. Jadi...”

            Kami terdiam. Hujan mulai turun semakin deras. Tapi, aku tidak peduli. Bagiku, aku merasa lebih hangat daripada di depan perapian saat ini.

            “Jadi, apa?” tanyaku.

            “Ya...itu tergantung kamu.” jawabnya.

            “Maksdumu?”

            Dia tersenyum. Senyumnya manis sekali, walaupun ditengah guyuran hujan. Aku mengerti maksdunya.

            “Jadi, maukah kau menikah denganku?”

            Dia mengangguk. Dan tampak olehku, sesosok pelangi di kejauhan. Diantara pelangi itu, para bidadari terbang mengelilingi pelukis istana yang sedang melukis kami. Jika aku diperbolehkan memberi nama lukisannya, aku akan menamainya : “Guyuran Cinta”.



[1] Experd (Eporia Kuno : Expert) Level ke-7 di Akademi Bookea yang dijalani selama 4 tahun, biasanya diisi dengan kunjungan ke luar kota atau studi masalah yang dilakukan langsung di lingkungan masyarakat.

[2] Duke : Setingkat Gubernur di negara bagian.

0 comment: